PROFIL
Selamat datang di website SINAR - sistem layanan rutan kelas 1 Makassar wilayah Sulawesi Selatan
Kanwil Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Sulawesi Selatan
Kanwil Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Sulawesi Selatan
Profil Pejabat
Sejarah Kepenjaraan
Periode kerja paksa di Indonesia (1872-1905). Pada periode ini terdapat 2 jenis hukum pidana, khusus untuk orang Indonesia dan Eropa. Hukum pidana bagi orang Indonesia (KUHP 1872) adalah pidana kerja, pidana denda dan pidana mati. Sedangkan hukum pidana bagi orang Eropa (KUHP 1866) telah mengenal dan dipergunakan pencabutan kemerdekaan (pidana penjara dan pidana kurungan). Perbedaan perlakuan hukuman pidana bagi orang Eropa selalu
dilakukan di dalam tembok (tidak terlihat) sedangkan bagi orang Indonesia terlihat oleh umum.
Periode penjara sentral wilayah (1905 - 1921). Periode pelaksanaan pidana di Indonesia menjelang berlakunya Wetboek Van Strafrecht Voor Nederland Indie (KUHP 1918). Periode ini ditandai dengan adanya usaha-usaha untuk memusatkan penempatan para terpidana kerja paksa di dalam pusat-pusat penampungan wilayah. Pidana kerja lebih dari 1 tahun yang berupa kerja paksa dengan dirantai/tanpa dirantai dilaksanakan diluar daerah tempat asal terpidana. Kemudian sejak tahun 1905 timbul kebijaksanaan baru dalam pidana kerja paksa dilakukan di dalam lingkungan tempat asal terpidanan.
Periode pelaksanaan pidana di Indonesia dalam periode pendudukan balatentara Jepang (1942 - 1945). Pada periode ini menurut teori perlakuan narapidana harus berdasarkan reformasi/rehabilitasi namun dalam kenyataannya lebih merupakan eksploitasi atas manusia. Para terpidana dimanfaatkan tenaganya untuk kepentingan Jepang. Dalam teori para ahli kepenjaraan Jepang perlu adanya perbaikan menurut umur dan keadaan terpidana. Namun pada kenyataannya perlakuan terhadap narapidana bangsa Indonesia selama periode pendudukan tentara Jepang merupakan lembaran sejarah yang hitam dari sejarah kepenjaraan di Indonesia. hal ini tidak jauh berbeda dengan keadaan sebelumnya (penjajahan Belanda).
Periode kepenjaraan RI ke I (1945-1950 ). Periode ini meliputi 2 tahap yaitu tahap perebutan kekuasaan dari tangan tentara Jepang, perlawanan terhadap usaha penguasaan kembali oleh Belanda dan tahap mempertahankan eksistensi RI. Periode ini ditandai dengan adanya penjara-penjara darurat yaitu penjara yang berisi beberap orang terpidana yang dibawa serta mengungsi oleh pimpinan penjaranya. Pada umumnya didirikan pada tempat-tempat pengungsian, sebagai tempat menahan orang yang dianggap mata-mata musuh. Adanya penjara darurat dan pengadilan darurat dimaksudkan sebagai bukti kepada dunia luar bahwa pemerintah RI secara de jure dan de facto tetap ada.
Periode kepenjaraan RI ke II (1950-1960 ). Periode ini ditandai dengan adanya langkah- langkah untuk merencanakan reglement Penjara yang baru sejak terbentuknya NKRI. Pada periode ini telah lahir adanya falsafah baru di bidang kepenjaraan yaitu resosialisasi yang pada waktu itu dinyatakan sebagai tujuan yang modern di dunia kepenjaraan internasional.
Periode kepenjaraan RI ke III (1960-1963 ).Periode ini merupakan periode pengantar dari periode pemasyarakatan berikutnya. Periode ini ditandai dengan adanya kebijaksanaan kepemimpinan kepenjaraan yang berorientasi pada pola social defense yang dicanangkan oleh PBB yaitu integrasi karya terpidana dalam ekonomi nasional, bentuk baru kenakalan remaja dan penanganan jenis-jenis kejahatan yang diakibatkan oleh perubahan-perubahan sosial dan yang menyertai perkembangan ekonomi. Pembinaan menjelang bebas dan perawatan susulan serta pemberian bantuan kepada keluarga terpidana.
Periode ini ditandai dengan adanya konsep baru yang diajukan oleh Dr. Saharjo, SH berupa konsep hukum nasional yang digambarkan dengan sebuah pohon beringin yang melambangkan pengayoman dan pemikiran baru bahwa tujuan pidana penjara adalah pemasyarakatan. Pada konfrensi Dinas Derektoral Pemasyarakatan di Lembang Bandung tahun 1964, terjadi perubahan istilah pemasyarakatan dimana jika sebelumnya diartikan sebagai anggota masyarakat yang berguna menjadi pengembalian integritas hidup-kehidupan- penghidupan.
Periode ini ditandai dengan pendirian kantor-kantor BISPA (Bimbingan Pemasyarakatan dan Pengentasan Anak) yang sampai tahun 1969 direncanakan 20 buah. Periode ini telah menampakkan adanya trial and error dibidang pemasyarakatan, suatu gejala yang lazim terjadi pada permulaan beralihnya situasi lama ke situasi baru. Ditandai dengan adanya perubahan nama pemasyarakatan menjadi bina tuna warga.
Periode ini dimulai dengan adanya Lokakarya Evaluasi Sistem Pemasyarakatan tahun 1975 yang membahas tentang sarana peraturan perundang-undangan dan peraturan pelaksanaan sebagai landasan struktural yang dijadikan dasar operasional pemasyarakatan, sarana personalia, sarana keuangan dan sarana fisik. Pada struktur organisasi terjadi pengembalian nama bina tuna warga kepada namanya semula yaitu pemasyarakatan.
Titik awal pemisahan LP terhadap tingakat kejahatan, jenis kelamin, umur dimulai pada tahun 1921 yang dicetuskan oleh Hijmans, missal : LP Cipinang untuk narapidana pria dewasa, LP anak- anak di Tangerang, LP Wanita Bulu Semarang. Hal tersebut dikonkritkan lagi setelah tercetus konsep pemasyarakatan oleh Dr. Sahardjo, SH pada konferensi Dinas Direktorat Pemasyarakatan I di Lembang bandung tahun 1964. Menurut Soema Dipradja (1983 ) dimana perlakuan terhadap narapidana wanita diberi kebebasan yang lebih dibandingkan narapidana pria.
Tujuan dari tahap ini membuat jera narapidana agar bertobat sehingga tidak melanggar hukum lagi. Sistem pidananya merupakan pidana hilang kemerdekaan dengan ditempatkan disuatu tempat yang terpisah dari masyarakat yang dikenal sebagai penjara.
Tahap ini bertujuan membina narapidana supaya menjadi lebih baik. Sistem pidananya merupakan pidana pembinaan dimana narapidana dikurangi kebebasannya agar dapat dibina dengan menempatkan pada tempat yang terpisah dari masyarakat.
Tahap ini bertujuan membina narapidana agar dapat menjadi anggota masyarakat yang berguna. Sistem pidananya merupakan pidana pemasyarakatan yang mempunyai akibat tidak langsung yaitu berkurangnya kebebasan supaya bisa dimasyarakatkan kembali. Ditempatkan di suatu tempat tertentu yang terpisah dari masyarakat tetapi mengikutsertakan masyarakat dalam usaha pemasyarakatan tersebut. Sedangkan untuk usaha perlindungan terhadap masyarakat lebih ditekankan pada segi keamanan LP sesuai dengan fungsi, jenis dan kebutuhannya. Seseorang disebut narapidana apabila telah melalui serangkaian proses pemidanaan sehingga menerima vonis yang dijatuhkan atas dirinya.
Seseorang melanggar hukum kemudian ditangkap polisi, selama dalam proses pemeriksaan ia menjadi tahanan polisi dengan batas waktu 20 hari dan apabila dianggap pemerikasaan oleh polisi belum cukup maka dapat diperpanjang dengan ijin Kejaksaan.
Apabila telah selesai diperiksa oleh polisi maka orang tersebut diserahkan kepada Kejaksaan untuk diperiksa oleh Kejaksaan dan menjadi tahanan Kejaksaan.
Apabila perkaranya dianggap cukup untuk diadili maka pihak kejaksaan akan menyerahkan orang tesebut pada pengadilan untuk diadili dan menjadi tahanan pengadilan sampai selesai putusan perkaranya/ divonis.
Setelah diputuskan perkaranya oleh pengadilan maka orang tersebut harus dimasukkan dalam Lembaga Pemasyarakatan. Diserahkan kepada Kejaksaan kembali untuk diatur pengirimannya kepada Lembaga Pemasyarakatan yang cocok untuk pembinaannya.